Belajar dari Sebutir Garam


Sekitar setahun yang lalu–saat itu sedang musim kemarau–saya melewati jalur pesisir pantai utara Jawa, dan menemukan pemandangan tambak garam yg menghampar begitu luas. Saya ingat ketika driver yg mengendarai mobil–seorang asli Lamongan–berkata pada saya kalau garam dari sini kualitasnya terbaik. Dia bilang kalau kemungkinan besar garam dapur di rumah saya juga berasal dari sini.

Tetiba saya jadi ingat dengan buku karangan Salim A. Fillah “Lapis-lapis Keberkahan” pada halaman 126,  yg sempat saya baca waktu sedang dalam perjalanan di kereta menuju Semarang. Kalau saya rangkum kira2 begini isi tulisannya:

“Ini kisah sebutir garam yang mengemban tugas untuk mengasinkan lidah seorang pemuda baik nan sederhana bernama Salim yg tinggal di Yogjakarta. Betapa jauh sang garam terjebak di dalam ombak pada laut Jawa yg bergejolak. Setelah terombang ambing sekian lama akhirnya pelan2 angin musim menggesernya ke pesisir Madura. Disana ia disambut para petani garam di Bangkalan yg mengalirkannya ke tambak bersama air yang sedikit demi sedikit mengalami penguapan.

Dalam terik matahari, giat penambak menggaruk kesana kemari agar bebutir garam yang jumlahnya jutaan kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yg sedang ditokohkan ini harap2 cemas memohon agar beruntung dimasukan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yg memang nasibnya hanya berakhir disini; tertepikan bersama becekan lumpur di sudut ladang garam. Dia terpilih, terbawa para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Selanjutnya ia dikemas rapi, digudangkan, dan menunggu saat pengiriman. Betapa masih panjang jalannya untuk sampai pada sosok yg dijatahkannya.

Ringkasnya, setelah berbulan ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, akhirnya ia tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya ia telempar ke pasar kota, baru selanjutnya diambil pedagang pasar kecamatan. Lalu terkulailah ia oleh pemilik warung kecil yg rumahnya bersebelahan dengan makhluk yg ditujunya. Kian dekat, semakin rapat. Hingga ketika seorang wanita membelinya, menentengnya pulang, terasa haru baginya. Masuklah ia ke dalam masakan lezat wanita itu, berenang dan melarutkan dirinya. Wanita itu lalu berkata: “silakan sarapan, sayang”. Kemudian seorang lelaki perlahan menyambut seruan itu–seorang lelaki baik nan sederhana bernama Salim. Ia memulai suapan pertamanya yang didahului dengan doa.”

Bagian paling indah adalah penutupnya: “Maka tak perlu khawatir dengan rizkimu. Boleh jadi kamu tak tahu dimana rizkimu. Tapi rizkimu tau dimana dirimu. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun dan mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul dan menemuimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan akan menitahkannya timbul dan menjumpaimu.”


Leave a Reply